Lanjut ke konten
Januari 15, 2011 / mzwafy

Pakaian dalam Al Qur’an

Bicara soal pakaian, ada tiga bahasa
AlQur’an yang berarti pakaian,
diantaranya adalah tsaub ato tsiyab (pakaian lahir) yang
artinya “kembali” maksute: “kembalinya sesuatu pada keadaan
semula, atau pada keadaan yang seharusnya sesuai dengan ide
pertamanya.”

Ide pertama atau fitrahnya manusia itu adalah “menutup aurat”
alias “berpakaian”. Ingat cerita Adam dan Hawa, ketika makan buah
terlarang kemudian mereka menjadi terlihat auratnya dan buru2
mencari daun-daunan untuk menutupi kembali auratnya. [Makanya saya
jadi bingung kalau kebudayaan koteka di Irja harus dipertahankan].

Jadi fungsi utama pakaian adalah menutup aurat. Sedang fungsi-fungsi
lainnya adalah sebagai perhiasan, perlindungan (dari panas or
dingin), dan penunjuk identitas/kepribadian.

Disadari sepenuhnya bahwa Islam tidak datang menentukan mode
pakaian tertentu, sehingga setiap masyarakat dan periode, bisa
saja menentukan mode yang sesuai dengan seleranya. Namun
demikian agaknya tidak berlebihan jika diharapkan agar dalam
berpakaian tercermin pula identitas/kepribadian itu.

Tidak diragukan lagi bahwa jilbab bagi wanita adalah gambaran
identitas seorang Muslimah, sebagaimana yang disebut Al-Quran.
Tetapi apa hukumnya? Ini dibahas dalam bagian ayat-ayat AlQur’an
yaitu ayat yang terkandung dalam surah An-Nur dan Al-Ahzab.

Wanita-wanita Muslim, pada awal Islam di Madinah, memakai
pakaian yang sama dalam garis besar bentuknya dengan
pakaian-pakaian yang dipakai oleh wanita-wanita pada umumnya.
Ini termasuk wanita-wanita tuna susila atau hamba sahaya.
Mereka secara umum memakai baju dan kerudung bahkan jilbab
tetapi leher dan dada mereka mudah terlihat. Tidak jarang
mereka memakai kerudung tetapi ujungnya dikebelakangkan
sehingga telinga, leher dan sebagian dada mereka terbuka.
Keadaan semacam itu digunakan oleh orang-orang munafik untuk
menggoda dan mengganggu wanita-wanita termasuk wanita
Mukminah. Dan ketika mereka ditegur menyangkut gangguannya
terhadap Mukminah, mereka berkata: “Kami kira mereka hamba
sahaya.” Ini tentu disebabkan karena ketika itu identitas
mereka sebagai wanita Muslimah tidak terlihat dengan jelas.
Nah, dalam situasi yang demikian turunlah petunjuk Allah
kepada Nabi yang tertulis dalam:QS Al-Ahzab: 59

Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak
perempuan dan istri-istri orang Mukmin agar mengulurkan
atas diri mereka jilbab-jilbab mereka. Yang demikian
itu menjadikan mereka. Lebih mudah untuk dikenal
(sebagai wanita Muslimah/wanita merdeka/orang
baik-baik) sehingga mereka tidak diganggu. Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang

Jilbab adalah baju kurung yang longgar dilengkapi dengan
kerudung penutup kepala.

Ayat ini secara jelas menuntun/menuntut kaum Muslimah agar
memakai pakaian yang membedakan mereka dengan yang bukan
Muslimah yang memakai pakaian tidak terhormat lagi mengundang
gangguan tangan atau lidah yang usil. Ayat ini memerintahkan
agar jilbab yang mereka pakai hendaknya diulurkan ke badan
mereka.

Seperti tergambar di atas, wanita-wanita Muslimah sejak semula
telah memakai jilbab, tetapi cara pemakaiannya belum
menghalangi gangguan serta belum menampakkan identitas
Muslimah.

Nah, di sinilah Al-Quran memberi tuntunan itu.

Penjelasan serupa tentang pakaian ditemukan pada surat Al-Nur
(24): 31,

Katakanlah, kepada wanita yang beriman, hendaklah
mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya
dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali
yang tampak darinya. Hendaklah mereka
mengulurkan/menutupkan kain kudung kedadanya dan
janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada
suami mereka, atau ayah mereka, atau mertua mereka,
atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka,
atau saudara lelaki mereka, atau putra-putra saudara
lelaki mereka, atau putra-putra saudara perempuan
mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang
mereka miliki, atau pelayan-pelayan lelaki yang tidak
mempunyai keinginan terhadap wanita, atau anak-anak
yang belum mengerti tentang aurat wanita. Janganlah
mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang
mereka sembunyikan dan bertobatlah kamu sekalian kepada
Allah, hai orang yang beriman, supaya kamu beruntung.

Surat Al-Nur (24): 31 di atas, kalimat-kalimatnya cukup jelas.
Tetapi yang paling banyak menyita perhatian ulama tafsir
adalah larangan menampakkan zinah (hiasan) yang dikecualikan
oleh ayat di atas dengan menggunakan redaksi illa ma zhahara
minha [kecuali (tetapi) apa yang tampak darinya].
***
Mbak Fau, itu kata eyang Quraish Shihab dalam buku Wawasan
AlQur’annya yang bisa dilihat lengkapnya di media.isnet

Jadi buat sayapun, nasehat dan anjuran Nabi SAW itu tidak berubah
bentuk menjadi hukum yang Halal or haram, wajib etc karena kalau
hukum yang begini ini perlu ilmu lagi…:-)

Perkataan Nabi SAW (hadist) kan harus dilihat asbabun wurudnya juga.
Adakalanya nasehat Nabi SAW itu diberikan kepada orang tertentu
saja. Adakalanya Nabi SAW juga tak memaksakan nasehatnya, namun
kalau orang yang diberi nasehat tsb percaya kepada kerasulan nabi
SAW tersebut, pasti pada nurut.

Yang wajib (secara hukum) adalah menutup aurat.
Menjadi wajib (bagi individu) bila seseorang telah sadar bhw dia
adalah muslimah dan ingin menjadi mukmin, maka berjilbab menjadi
wajib :-). Kalau belum ada kesadaran (akalnya belum sampai kesana),
berarti kan belum ada keharusan, tidaklah menjadi wajib…:-).

Kalau kita muslimah, berkepribadian/beridentitaslah muslimah.
Salah satu cara penunjukan identitas muslimah adalah pakaiannya.

Januari 15, 2011 / mzwafy

Hello world!

Welcome to WordPress.com. This is your first post. Edit or delete it and start blogging!